yipsuck!!

yipsuck!!

Rabu, 12 Agustus 2009

Parmin dan juminem,

Senja terlalu dini berlalu.
Makian alam begitu kentara pada frase ketiga ini.
Kepala parmin pecah, pecah dalam uraian nafsunya.
Nafsu di senja buta.
Senja itu bukan miliknya, namun sangat lekat padanya.
Iganya menari nari di tiap hembusan si angin senja.
Dia masih sempat mengulum senyum dan melempar kepada juminem yang beradu kaki sejenak didepan rumahnya.
Senyum paling menakjubkan baginya dan juminem si wanita penggoda hatinya.
Senja sudah lengser, bergeser dengan lemasnya.
Malam pun mulai angkuh menancapkan kudapan dinginnya.
Parmin terduduk sendiri.
Pandangannya tajam, dalam, jauh namun kosong tak berisi.
Semuanya lari menuju si juminem, janda kembang kampung ilalang.
Parmin masih sempat menggambar guratan guratan nafsu di pelipisnya.
Dia dan juminem pernah bermuka muka dalam kelambu, menampar bibir memagut liur, bersentuh jiwa, dengan korosi gelap mata, masih si nafsu jadi kendalinya. .
Dan beradu pangkal paha, demi nafsu berkedok cinta.
Cinta yang mereka agungkan dulu, sekarang hanya jadi perunggu sengatan lebah diujung lidah.
Parmin berkaca pada udara dimukanya, bulu hidungnya masih menggantung beliung.
Pikirannya tak rela juminem meracuni otaknya dulu, dengan debut nafsu pertamanya.
Parmin hanya berpikir dosa, lalu kenapa tak dinikahinya, bisa kau jajah pejal lakunya.
Terlambat kata dihatinya.
Terlalu cepat pula mungkin juminem naik tingkat, turun pangkat.
Parmin berucap saling sendiri.
Dia tak berminat berdebat dengan hati busuknya.

Parmin duduk menengadah langit, mulutnya komat komit.
Berpura tangan nya.
Lupa sudah ia harusnya.
Juminem pun telah tiada.
Hanya mewarisi rindu yang mengkapur.
Juminem tak mungkin kembali.
Parmin mengangkat kaki, berdiri, mengajukan nafsunya jinak merpati..
Terbaring dia, belati kokoh diatas perutnya, darah segar mulai liar keluar. Senja buta mengawasinya, saksi bisu penghabisanya menyusul juminem dengan senyumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar