Disini ketika hanya ingin tetap mencoba kuat.
Ketika harus menggerus engsel engsel untuk tetap beroperasi, meski multivitamin tak bisa diajak bernegosiasi. Dan ketika organisasi yang telah termarjinalkan plasma kelemasan. Hanya menunggu saat yang tepat untuk tumbang. Berusaha untuk bisa maju menuju apa yang dimau. Tapi bisa apa? Ketika semua sistem yang telah dirancang harus ngadat ketika kondisi sudah dianggapa patut diistirahatkan!
Dan akhir terjadi pengakuan. Memelas demi tetap bisa berjalan. Entah kenapa, dari lawan sana malah makin menjadi lempar umpatan. Well sang kerdil tak tahu semulia apa dari hal yang paling kecil, terbuang percuma itu menjadi suatu rugi yang besar, semakin diperkuat dan timbul kecaman.
Ketidak pedulian kini yang mengorganisir.
Yaaa, yang disini menyebabkan sesuatu harus terbuang percuma, dan hanya mengandalkan alasan tak bersintesis dengan fakta.
Harus apa sekarang?
Lalu yang ada kini disini tinggal kekhawatiran, kekhawatiran yang berlebih.
Gelisah benar benar gelisah yang menutup segala galanya!! Dan sebuah harapan kecil untuk bisa lagi berdiri menyambangi sang "moody".
Shit!!!
Saturday, 6 february 2010
19:38
Minggu, 21 Februari 2010
Yang saya tahu, dan saya pelajari.
Yang saya tahu tiap sentuhan adalah kasih sayang, sentuhan itu, tiap gerak, membelai dengan merdunya. Ibuku yang mengajarkan.
Yang saya pelajari, tiap sentuhan itu adalah selubung kegetiran. Pelacur yang mengajarkan.
Yang saya tahu "i love you" itu "aku cinta kamu", kalimat paling populer dikalangan remaja ato dewasa ketika dimabuk asmara, diucapkan mengikuti suasana hati. televisi yang mengajarkan.
Yang saya pahami "i love you" itu "semua berakhir perih". Sebuah awal yang akan memberikan tangis perih didada, pada salah satu sudut hati individu. pengalaman yang mengajarkan.
Yang saya tahu peluk erat itu, sesuatu yang hangat, geliat kedekatan betapa seseorang bisa menyampaikan secara abstrak segala yang tak bisa ia ungkapkan. "dia" yang mengajarkan.
Yang saya pelajari, peluk erat itu adalah ucapan selamat tinggal yang paling ampuh. Menunjukkan skala yang sangat besar, mengirimkan sinyal perpisahan yang menyakitkan. "dia" pula yang mengajarkan.
Yang saya tahu tiap sanjungan itu, adalah betapa terpesonanya kita pada seseorang. Betapa kita mengagumi karya Tuhan. Mata yang mengajarkan.
Yang saya pelajari tiap sanjungan itu adalah sebuah kegombalan yang menjijikkan. Susunan kalimat yang dirangkai sedemikian rupa hingga mematikan saraf otak. Dan perasan menjadi ekstra bergejolak. Fakta yang mengajarkan.
Yang saya tahu saya bisa menyukai seseorang, menyayangi dan mendapatkan hal yang sama sebagai upahnya.
Yang saya pelajari adalah hal yang sama ketika pikiran ini sebagai raja, dan perasaan sebagai permaisuri yang paling sempurna.
Yang saya pelajari, tiap sentuhan itu adalah selubung kegetiran. Pelacur yang mengajarkan.
Yang saya tahu "i love you" itu "aku cinta kamu", kalimat paling populer dikalangan remaja ato dewasa ketika dimabuk asmara, diucapkan mengikuti suasana hati. televisi yang mengajarkan.
Yang saya pahami "i love you" itu "semua berakhir perih". Sebuah awal yang akan memberikan tangis perih didada, pada salah satu sudut hati individu. pengalaman yang mengajarkan.
Yang saya tahu peluk erat itu, sesuatu yang hangat, geliat kedekatan betapa seseorang bisa menyampaikan secara abstrak segala yang tak bisa ia ungkapkan. "dia" yang mengajarkan.
Yang saya pelajari, peluk erat itu adalah ucapan selamat tinggal yang paling ampuh. Menunjukkan skala yang sangat besar, mengirimkan sinyal perpisahan yang menyakitkan. "dia" pula yang mengajarkan.
Yang saya tahu tiap sanjungan itu, adalah betapa terpesonanya kita pada seseorang. Betapa kita mengagumi karya Tuhan. Mata yang mengajarkan.
Yang saya pelajari tiap sanjungan itu adalah sebuah kegombalan yang menjijikkan. Susunan kalimat yang dirangkai sedemikian rupa hingga mematikan saraf otak. Dan perasan menjadi ekstra bergejolak. Fakta yang mengajarkan.
Yang saya tahu saya bisa menyukai seseorang, menyayangi dan mendapatkan hal yang sama sebagai upahnya.
Yang saya pelajari adalah hal yang sama ketika pikiran ini sebagai raja, dan perasaan sebagai permaisuri yang paling sempurna.
Gesekan!
Bungkam kau kata
Bosan diujung pena.
Langit tiada murka
Awan habiskan makan siangnya.
Wahai bumi yang menjilat udara
Kucilkan aku di kolong tempat tidurmu.
Pantomim angin yang berderu
Bisu tiada seru.
Gugah nafsu berujung benalu
Aku ditipu malu.
Akan kemanakah kau berbaring?
Aku disini beralas duri
Lampau takdir kita bertemu
Lisan bekerja, duduk dalam ruang poligon.
Mata bekerja mengaduk aduk suasana
Dalam sebuah "antara" kita lakukan apa saja.
Bergejolak riang si darah muda.
Terus dari rabaan penuh kenikmatan
Pada batas batas pribadi kita mengekang diri
Dan menikmati konsekuensi.
Kita satu tubuh tak bersetubuh.
Satu waktu berlalu bisu
hanya liuk tubuh dan nafsu terpahat rindu.
Bercumbu bercumbu bercumbu
Pada atmosfer ini
Langit, hujan, dingin, gairah, estetika, seni, suara.
Kita tak berteman setan, nafsu tak sampai temboki mata.
Kita berdua buta diujung pena.
Bercinta dalam aksara
Retrospeksi yang memuda
Retorika adalah pembunuhan suasana!
Bosan diujung pena.
Langit tiada murka
Awan habiskan makan siangnya.
Wahai bumi yang menjilat udara
Kucilkan aku di kolong tempat tidurmu.
Pantomim angin yang berderu
Bisu tiada seru.
Gugah nafsu berujung benalu
Aku ditipu malu.
Akan kemanakah kau berbaring?
Aku disini beralas duri
Lampau takdir kita bertemu
Lisan bekerja, duduk dalam ruang poligon.
Mata bekerja mengaduk aduk suasana
Dalam sebuah "antara" kita lakukan apa saja.
Bergejolak riang si darah muda.
Terus dari rabaan penuh kenikmatan
Pada batas batas pribadi kita mengekang diri
Dan menikmati konsekuensi.
Kita satu tubuh tak bersetubuh.
Satu waktu berlalu bisu
hanya liuk tubuh dan nafsu terpahat rindu.
Bercumbu bercumbu bercumbu
Pada atmosfer ini
Langit, hujan, dingin, gairah, estetika, seni, suara.
Kita tak berteman setan, nafsu tak sampai temboki mata.
Kita berdua buta diujung pena.
Bercinta dalam aksara
Retrospeksi yang memuda
Retorika adalah pembunuhan suasana!
Langganan:
Komentar (Atom)